Categories:

Catatan Kecil Cadasgantung

Cerita kemarin siang ( 1 Oktober 2016) :

Berkunjung ke suatu kampung di daerah Bandung bagian Utara yang termasuk kabupaten Bandung dan tidak jauh dari pusat peradaban (katanya) Bandung. Kampung ini beberapa hari ramai diberitakan di media massa yang berkait dengan kondisi yang cukup mengenaskan untuk sebuah lokasi yang tidak jauh dari pusat peradaban itu sendiri.

Kami datang dan bertemu secara tidak sengaja dengan beberapa tokoh lokal (belakangan baru kami ketahui) yang juga peduli dengan kondisi yang terjadi di lingkungannya. Pendek kata, mereka keberatan dikatakan tidak perduli dengan kampung tersebut. Mereka menyampaikan bahwa mereka juga membantu sekolah beberapa anak disitu dan tidak benar dikatakan bahwa anak anak disitu putus sekolah sampai SD saja. Tapi diakui bahwa masih ada masalah di kampung tersebut walaupun mereka sudah berusaha untuk menjalin hubungan dengan banyak pihak terutama pemerintah kabupaten Bandung beserta jajarannya.
Rumah rumah di kampung boleh dibilang tidak layak , akses ke lokasi tersebut cukup terisolasi atau hanya dapat dilakukan dengan jalan kaki atau motor. Sebagian jalan ke arah lokasi sudah di beton walau sebagian lagi masih jalan tanah. Hanya bisa menggunakan motor , dan kebetulan habis hujan cukup licin walaupun jalan kaki sekalipun.

Daerah tersebut boleh dibilang terisolir , listrik yg ada di beberapa rumah tersebut baru masuk tahun 2013 atas usaha dari para tokoh yg perduli dengan kondisi mereka disana. Rumah mereka di kampung itu masih boleh dibilang gubug atau rumah semi permanen yang tidak mempunyai fasilitas dasar yang layak. Misalnya tidak terdapat kamar mandi, tidak terdapat ketersediaan persediaan air untuk kebutuhan dasar minum air bersih yg layak , mandi , memasak dan hal dasar untuk kehidupan keluarga. Belum lagi kebutuhan energi untuk memasak yang didapat dari kayu bakar sekitar walaupun ada beberapa rumah yang telah menggunakan gas elpiji 3 kg.

Darimana pendapatan mereka ? kebanyakan mereka sebagai buruh tani atau pekerja lepasan atau kuli lepasan. Kalau mereka tidak bekerja atau mendapatkan hasil dari apa yang ada disekitar yg mereka tanam , mereka tidak mendapatkan penghasilan sama sekali. Pendek kata mereka adalah Miskin atau lebih tepatnya dibawah garis kemiskinan. Salah satu kriteria dibawah garis kemiskinan adalah pendapatan yang mereka dapatkan adalah kurang dari 1.25 dollar per hari ( setara dengan Rp 16.500 per hari).

Para tokoh yang secara tidak sengaja saya temui belum sadar bahwa mereka mereka di kampung ini masih berada di bawah atau berada jauh dibawah garis kemiskinan. Kisah ini mengingatkanku pada apa yang pernah ditulis oleh Bung Karno yang berkaitan dengan Pak Marhaen.

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memberikan pertolongan dan memberikan kemampuan (capacity building) buat mereka di kampung tersebut yang tidak kurang 13 Keluarga . Hal ini sedang kami pikirkan karena kalau kita mau datangi kampung kampung terisolir yang berada tidak jauh dari pusat peradaban , pasti kami akan menemukan lebih banyak lagi.

—bersambung —