Categories:

Sudut pandang

Ada yang menggelitik pada suatu acara di ITB, yaitu seminar yang diadakan oleh KM ITB pada tanggal 5 Maret 2006. Acara ini lebih banyak diskusi antara mahasiswa ITB dengan para alumni yang dianggap sukses dalam berkarir. Permasalahannya bukan terletak siapa yang bicara , justru yang menarik tulisan yang mengemuka setelah acara tersebut yang tersaji di harian Pikiran Rakyat dan yang tertulis di website ITB (http://www.itb.ac.id).

Harian Pikiran Rakyat (PR) lebih menyoroti sisi ‘negatif’ dari beberapa alumni yang membuat masalah sedangkan dari reporter web itb lebih mengangkat apa apa yang harus diperbaiki oleh ITB sendiri .

Entah sudut pandang yang berbeda atau konsep “bad news is a good news” yang lebih mengemuka pada kasus ini.

Kalau kita lihat banyak kejadian yang muncul di media massa , banyak yang sepotong sepotong diambil ‘angle’ atau sudut pandangnya , ini seringkali menimbulkan persepsi yang berbeda pada pembaca.

Mungkin PR tidak salah akan tetapi apabila kritik terhadap suatu institusi dapat lebih ‘halus’ atau dapat lebih mengarah pada kritik yang membangun, saya pikir akan situasi yang tercipta akan lebih baik.

Berikut ini adalah kutipan :

http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2006/032006/09/kampus/lain01.htm

Cukuplah Kampus Mencetak Garong

ALUMNI pulang ke kampus punya banyak cerita. Tapi yang muncul bukan melulu cerita kesuksesan, malah kesan miris melihat almamaternya melempem. Setidaknya lontaran-lontaran miris itu terjadi saat Keluarga Mahasiswa ITB mengajak alumni membagi cerita kepada anak-anak baru angkatan 2004 dan 2005.

Cardiyan HIS, jebolan Teknik Geodesi ITB tahun 1973, tidak ragu menyebut kampusnya sebagai penyokong keterpurukan bangsa Indonesia. Pernyataan Cardiyan memang bukan tudingan, jika melihat berapa besar kasus yang melibatkan jebolan-jebolan ITB. Seperti Deputi Direktur Pembangkit PLN, yang mesti menginap di Bareskrim Polda Metro Jaya.

“Entah berapa banyak alumni ITB yang menjadi preman, garong, penipu dan koruptor, yang masih berkeliaran ataupun tidak, dengan bangga mengklaim sebagai lulusan ITB!” katanya di hadapan puluhan mahasiswa angkatan 2004 dan 2005 di Aula Timur ITB, Minggu (5/3).

http://www.itb.ac.id/news/972
Seminar Nasional “Membangun Idealisme, Kredibilitas dan Kepemiminan Manusia ITB dalam Percaturan Global”
klik untuk memperbesarSelasa, 7 – Maret – 2006, 17:32:10
Pada Minggu, 5 Maret 2006 di Aula Barat ITB, diadakan seminar nasional sehari “Membangun Idealisme, Kredibilitas dan Kepemiminan Manusia ITB dalam Percaturan Global” dari Serial Inspiring dan Motivation Seminar (The SIMS), yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa (KM)-ITB dan Brigade Ganesha. Acara ini menghadirkan figur publik-figur publik terkemuka sebagai pembicara. Diadakan dalam 3 sesi, seminar ini berlangsung mulai pukul 08.00 sampai 16.30 WIB.
Dalam sesi pertama, yang bertemakan “ITB, Manusia ITB dan Indonesia”, Cardiyan HIS (Presiden dan CEO PT SWI Group, Jakarta), tampil sebagai pembicara utama, didampingi Budiono Kartohadiprojo (Pemred Majalah Gatra). Sesi kedua yang bertemakan “Membangun Idealisme, Kredibilitas, dan Kepemimpinan di Dunia Pasca Kampus”, menghadirkan Hotasi Nababan (Dirut MNA), Gede Raka (Guru Besar TI ITB), dan Lendo Nouo (Staf Ahli Menteri BUMN). Sedangkan sesi ketiga menghadirkan Hasnul Suhaini (Dirut Indosat), Sanggu Aritonang (Direktur PLN), dan Rinaldi (Direktur PT Telkom), dalam tema “Tantangan dan Peluang bagi ITB dalam Mengaktualisasikan Perannya di Indonesia”.

ITB dan Manusia ITB untuk Indonesia Incorporated

Adalah Cardiyan HS, alumnus T. Geodesi ITB angkatan 1973 – kini Presiden dan CEO PT SWI Group Jakarta–yang menulis buku berjudul sama dengan tema seminar ini, dan menjadi pembicara pertama dalam seminar sehari yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa (KM) ITB kemarin (5/3). Dalam kesempatan itu, beliau menyoroti masalah degradasi kualitas ITB sebagai institusi pendidikan. ITB kini telah tertinggal jauh dari universitas dan institut negara tetangga yang dahulu (era 70-an, red) menjadi pesaingnya. Hal ini disebabkan oleh sikap pemerintah Indonesia yang tidak mengutamakan pembangunan di bidang pendidikan, dimana hanya sebagian kecil dana pembangunan yang dialokasikan untuk belanja bidang pendidikan. Sementara universitas dari negara tetangga seperti Singapura, maju karena pemerintahnya kredibel dan peduli dengan masalah pendidikan. “Kemampuan mereka unggul sebagai entrepreneur university,” jelas beliau mengenai sistem pendidikan negara tetangga yang menjalin kerjasama dengan dunia industri sehingga mahasiswanya dapat menjadi entrepreneur yang menciptakan lapangan kerjanya sendiri.
Namun demikian, beliau mengklaim, ITB masih mempunyai potensi berupa sumber daya manusia yang berkualitas. “Oleh karena itu, ITB hendaknya semakin mengarahkan lebih banyak mahasiswa untuk memahami dunia industri dengan virus-virus enterpreneurship sejak mereka masuk ITB. Mereka harus diberikan banyak proses latihan untuk berani mencoba melakukan dan merealisasikan ide menjadi sesuatu karya semasa mereka di kampus. Biarkan proses trial and error ini berjalan sebagai tradisi menuju filosofi kerja bahwa ‘usaha keras adalah bagian yang sangat penting dari proses penghargaan’. Suatu penampilan dan kegagalan dari usaha keras yang dilakukan akan tetap mendapat simpati dari organisasi.” ungkap beliau.

Di kemudian hari filosofi ini akan membawa manusia ITB sebagai para pemberani dalam mengambil keputusan inovatif atau keputusan terobosan bukan keputusan yang biasa-biasa saja. Dengan demikian kita akan terdidik menjadi bangsa pemberani bukan bangsa pengecut.” Demikian jelas beliau.