Categories:

Mengenang Perjuangan Soetirto Dipodiwirjo

Soetirto Dipodiworjo, adalah seorang guru Sekolah Rakyat (atau SD jaman sekarang) yang kemudian terpanggil untuk menjadi pejuang untuk membela negara agar terbebas dari penjajahan. Sejak lulus dari Hogere Kweekschool di Purworejo, semacam Sekolah Guru Atas, tahun 1930, beliau menjadi guru HIS Nganjuk, kemudian pindah ke Tegal, Bandung bahkan ke Ambon. Setelah tiga tahun di Ambon, Soetirto muda kembali ke jawa untuk bertugas di Jatinegara dan lalu Purwokerto. Jabatan beliau pernah menjadi kepala sekolah rakyat di Purwokerto tahun 1942 dan kemudian menjadi Wakil Kepala Kantor Pendidikan di Banyumas, Porwokerto.

Seiring dengan masuknya Jepang yang menjajah Indonesia tahun 1942, Soetirto muda menjalani kursus bahasa Jepang selama 2 bulan di Jatinegara. Dengan kemampuan berbahasa Jepang yang baik, beliau ditugaskan untuk memberi pelajaran bahasa Jepang dan sedikit baris-berbaris pada guru-guru sekolah rakyat sekembalinya di Banyumas. Sejak itulah hidupnya mulai berubah karena keadaan. Beliau diminta menjadi Dai-ichi Daidantyo PETA (Pembela Tanah Air), yaitu tentara ciptaan Jepang untuk membantu melakukan propaganda untuk Jepang.

Salah satu pengalaman yang menarik adalah keterlibatan beliau dalam perekrutan Soedirman (yang kemudian menjadi Panglima Besar). Berikut penuturannya dalam ditulis oleh beliau sendiri tahun 1989,
“…. Tahu-tahu saya sendiri ditunjuk oleh Syutyokan menjadi calon Daidantyo. Selama menjabat Daidantyo di Cilacap saya mendapat kehormatan memilih 2 orang calon Daidantyo angkatan II hasil iklan. Saya pilih Bp. Soedirman dan Dp. Isdiman. Kemudian saya diperintahkan memilih 8 orang calon Tyudantyo angkatan II dari 50 pelamar, diantaranya yang saya masih ingat Bp. Suntaram, Bp. Brotosiswoyo, Bp. Martowidgdo, dan Bp. Imam Adrongi….”

Perjuangan berdampingan dengan Soedirman, yang sangat menonjol semangat dan kepemimpinannya, terus berlangsung dalam waktu lama. Sesudah proklamasi kemerdekaan dan sesudah PETA dibubarkan, BKR (Badan Keamanan Rakyat) dibentuk dengan dipimpin oleh trio: Soedirman, Soetirto dan Abimanyu. Tugas trio ini bersama dengan Mr. Iskak mewakili Indonesia untuk perundingan penyerahan senjata tentara Jepang kepada Indonesia, yang nantinya akan diserahkan kepada Sekutu. Bersama Abimanyu, Soetirto yang mahir berbahasa Jepang masuk ke dalam tangsi tentara Jepang untuk menerima senjata itu. Berbagai daerah seperti Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Purwokerto, didatangi untuk mengurusi penyerahan senjata ini.

Pertempuran sempat terjadi sebagai bentuk perlawanan Jepang dengan merebut kembali senjata yang sudah dikumpulkan. Waktu itu Soedirman memerintahkan Soetirto untuk meninjau penyerahan senjata ini kepada BKR Semarang. Senjata yang seharusnya oleh BKR langsung dibagikan ke kesatuan-kesatuannya malah dipamerkan di bekas sekolah di Mugas, Semarang, sehingga memberi kesempatan bagi Jepang untuk merebut kembali dan bertempur selama 5 hari. Saat itu Soetirto berencana menjemput keluarganya, yaitu istri Rr Soemartiyah, dan anak-anaknya yang saat itu masih berjumlah 6 orang, dari Semarang ke Purwokerto. Beliau sempat ditawan Jepang di Jatingaleh selama 3 hari 3 malam. Berkat masuknya Inggris yang mendarat di Tanjung Mas, Semarang, semua tawanan Jepang, termasuk beliau, dapat dibebaskan.

Bulan Oktober 1945 Soetirto diangkat menjadi Kepala Staf BKR divisi Purwokerto dengan pangkat Letnan Kolonel, sedangkan Soedirman sebagai Panglima Divisi dengan pangkat kolonel. Pertempuran melawan Inggris akhirnya meletus di Magelang dan menelan banyak korban, termasuk Mayor Isdiman. Berkat bantan Batalyon Divisi Purwokerto, Inggris dipaksa mundur sampai Ambarawa, walaupun hanya berbekal beberapa pucuk meriam. Sesudah peristiwa tersebut, Soedirman dipilih menjadi Panglima Besar dengan Mayor Abimanyu sebagai ajudannya. Kolonel Soetirto ditunjuk menjadi Panglima Divisi menggantikan Kolonel Soedirman. Ajudan beliau saat itu adalah Kapten Soerono. Jabatan kepala staf diserahkan kepada Kolonel Gatot Soebroto.

Untuk menghadapi Inggris di Ambarawa, Panglima Besar Soedirman membentuk MPP (Markas Pertempuran Pusat) yang dikepalai Kolonel Holan Iskandar, dan kolonel Soetirto sebagai Kepala Pertempuran. Yang bertugas mengepung Ambarawa ialah Divisi Purwokerto, Divisi Yogya dan Divisi Kolonel Jatikusumo, beserta rakyat yang membantu. Sempat terjadi perintah pergantian pimpinan antara Soetirto dan Gatot Soebroto, tapi saat Inggris meninggalkan Ambarawa, beliaulah yang memegang pucuk pimpinan dan beserta ajudannya Kapten Soerono yang pertama masuk ke kota Ambarawa, dengan markas di Desa Bedono dekat pabrik kopi, Ambarawa.

Saat itu kota Semarang masih diduduki Belanda. Bulan Februari 1946 Panglima Besar membentuk Panitia Besar Reorganisasi TRI (Tentara Rakyat Indonesia) yang diketuai oleh Letnan Jendral Oerip Soemohardjo, dan beranggotakan 8 orang termasuk Soetirto. Jabatan Penglima Divisi Purwokerto harus ditinggalkan untuk sementara. Hasil kerja dari panitia ini pentin sekali untuk berkembangnya angkatan bersenjata kita selanjutnya, yaitu:

  1. Terbentuknya Kementrian Pertahanan yang lengkap.
  2. Terbentuknya MGT (Markas Besar Tentara atau Generale Staf) dengan
    bagian-bagiannya, yaitu:

    • Panglima Besar:    Jendral Soedirman
    • Kepala Staf:    Letnan Jendral Oerip Soemodihardjo
    • Bagian SO I:    Koloneel Dr. Soetjipto
    • Bagian SO II:    Kolonel Holan Iskandar
    • Bagian SO III:    Kolonel TB Simatupang
    • Bagian SO IV:    (sementara kosong)
    • Bagian SO V:    Kolonel Soetirto
  3. Terbentuknya Angkatan Laut degan Markas Besarnya, Angkatan Udara juga
    lengkap dengan Markas Besarnya, dan Polisi Tentara dengan markasnya dipimpin oleh Jendral Mayor Santoso.

Jabatan sebagai bagian SO V membuat Soetirto melepas jabatannya sebagai Panglima Divisi. Sesudah pemerontakan PKI/peristiwa Madiun 18 September 1948, seluruh pegawai Kementrian Pertahanan yang dipimpin Mr. Amir Syarifuddin tersangkut PKI dan ditangkap semua. Menteri Pertahanan kemudian dijabat oleh Bung Hatta, sedangkan Soetirto ditunjuk sebagai Kepala Sekretariat Kementrian Pertahanan. Namun syarat yang harus dipenuhinya adalah melepas ketentaraannya menjadi Pegawai Tinggi Sipil. Beliau menyetujui syarat tersebut karena status apapun tidak menghentikannya untuk berjuang demi bangsa dan negara. Saat itu adalah titik balik dari hidupnya yang semula menjadi tentara di medan perang, menjadi pegawai sipil kembali. Jabatan di Kementrian Pertahanan tidak berlangsung lama karena Belanda menyerbu Yogyakarta pad a19 Desember 1948. Seluruh kementrian bubar, dan bahwak rumah beliau di Dondokusuman hancur kena bom belanda. Bersama keluarga dengan 7 anak, beliau terperangkap dalam paviliun, Keadaan prihatin terus tanpa gaji berlangsung sampai perjanjian Rum-Royen.

Karena status Soetirto sudah menjadi pegawai sipil walaupun tidak pernah menerima gaji, beliau memutuskan untuk kembali mengajar. Panggilan jiwa untuk mengajar sesuai dengan profesi awal beliau tidak bisa dibendung kali ini. Sejak tanggal 1 Juli 1950 beliau menjadi guru Taman Madya dan SMA TP di Semarang, yang merupakan sekolah bagi orang-orang bekas Tentara Pelajar. Karirnya terus meningkat sehingga sampai pembantu dekan di IKIP Semarang tahun 1964. Akhirnya beliau pensiun tahun 1971 dan meninggal pada tahun 1995.