Di Internet,
Media Massa Nasional (Harusnya) Kian Cepat,
Akurat, Lengkap dan Mendunia
Oleh Priyambodo RH
(Wartawan LKBN ANTARA, dan Pengajar Cyberjournalism
di Lembaga Pers Dr. Soetomo/LPDS)
“Wartawan di tengah kemajuan teknologi informasi agaknya tidak lagi menghadapi masalah bagaimana mengirimkan berita secepat, seakurat dan selengkapnya. Masalah terbesar mereka adalah bagaimana mempertajam kreativitasnya dengan memanfaatkan hasil teknologi itu sendiri.”
Pengantar
Dalam sejumlah pameran teknologi terkini di negeri ini, sejumlah pramuniaga seringkali menawarkan produk-produk canggih, dan salah satunya adalah lemari pendingin (kulkas) yang di pintunya terpasang layar sentuh (touch screen) terhubung ke jejaring komputer sejagat alias Internet.
Bagi sejumlah orang, terutama yang maniak berselancar di dunia maya, keberadaan kulkas ber-Internet itu bakal menarik perhatiannya. Namun, bagi sebagian orang lainnya tentu saja bakal ada yang bertanya-tanya: “Apa enaknya ber-Internet di pintu kulkas?”
Namun, semakin banyak orang saat ini lebih menikmati fungsi komputer pribadi (personal computer/PC) yang terhubung ke Internet bukan sekadar mesin ketik canggih lagi, karena PC kian hari fungsinya semakin menyatu mulai menjadi bioskop, televisi, radio, wahana bermain sampai dengan buku harian pribadi sekaligus mesin pencari (search engine) informasi tercepat, terakurat dan terlengkap secara pribadi pula.
Padahal, tak sedikit orang yang tentunya bakal merasakan kenyamanan kulkas ber-Internet manakala fungsi kecanggihannya bisa langsung mendeteksi apa saja isi kulkas –misalnya, es krim, susu, telur, buah-buah dan sayur mayur– yang sudah habis, serta langsung terhubung ke toko serba ada untuk memesan, membayar secara online sampai mengantarkan kebutuhan apa saja, sehingga lemari pendingin tetap penuh sesuai daftar rutin keinginan pemiliknya.
Dengan kata lain, kebanyakan orang masih lebih mementingkan unsur fungsi dari satu benda untuk memenuhi kebutuhannya –apalagi, syukur-syukur harganya murah– dan mereka cenderung menuntut hasil temuan teknologi mempermudah urusannya.
Berangkat dari kecenderungan semacam itulah, maka fungsi media massa yang memanfaatkan terknologi Internet (cybermedia) tak akan pernah terabaikan selama mereka senantiasa mampu menyajikan informasi yang cepat, akurat, lengkap sesuai keinginan publiknya, dan syukur-syukur gratis!
Multimedia Massa
“Sekarang ini, Internet berada kira-kira pada tingkat perkembangan telepon di tahun 1890-an. Sambungan ke Internet belum untuk semua orang. Menjalankan Internet tidaklah mudah. Dan, dewasa ini hanya sejumlah wartawan tertentu saja yang memanfaatkannya,” catat Randy Reddick dan Elliot King dalam buku mereka yang berjudul Online-Journalist, using Internet and Other Electronic Resources.
Dalam buku terbitan Harcourt Brace & Company pada 1995 tersebut, mereka juga menorehkan pendapatnya: “Walaupun demikian, dalam bentuknya yang sekarang pun, Internet sangat berguna karena wartawan dapat melaksanakan tugas utamanya mengumpulkan dan menyampaikan informasi pada khalayak secara lebih mendalam dan efisien.”
Pendapat kedua penulis itu pun dalam kurun waktu satu dasawarsa -saat ini- sudah harus banyak dikoreksi, terutama menyangkut perkembangan jumlah sambungan ke Internet untuk semua orang, dan tentu saja bagaimana para wartawan memanfaatkannya. Hal itu semua tentunya tak bisa dilepaskan dari kerja keras para pihak, seperti kalangan penyempurna teknologi, pebisnis yang banyak mencium peluang, dan juga khalayak –terutama pekerja media massa/wartawan– yang tidak pernah puas memanfaatkan fungsi dari hasil teknologi informasi.
Dalam perjalanannya selama ini, jurnalisme ber-Internet atau yang akrab disebut “cyberjournalism” ataupun “online journalism” sudah melampaui gelombang ketiga dan memasuki gelombang keempat. Hal ini lebih banyak dilihat dari kenyataan yang terjadi di negara-negara Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS).
Gelombang Pertama jurnalisme ber-Internet mulai nampak pada tahun 1982 – 1992 atau tahap sepuluh tahun awal perjuangan. Periode tersebut menjadi penentu gejala Internet sebagai jejaring komputer global yang memungkinkan semua orang memiliki “mainan baru” dalam dunia informasi. Saat itulah banyak pakar menyebut sebagai babak: “Selamat Datang Teknologi Informasi Multimedia”.
Pembabakan jurnalisme ber-Internet pada kenyataannya tak lepas dari kehadiran perusahaan penyedia jasa jejaring Internet (Internet Service Provider/ISP) yang di AS dipelopori oleh “American On Line” (AOL) dan “Prodigy”. Hanya saja, media massa memanfaatkan Internet baru sebatas sebagai pelengkap administrasi untuk saling berkirim kabar per surat elektronik (e-mail) dan kecepatan akses maksimalnya sekirar 9,6 Kilo Bytes per second (KBps).
Gelombang Kedua jurnalisme ber-Internet berlangsung pada tahun 1992 – 2001 yang ditandai dengan semakin komplitnya ISP di AS dan UE memberikan fasilitas kecepatan akses data multimedia dibarengi dengan kemampuan prosesor PC melakukan sejumlah pekerjaan secara bersamaan (multi tasking), serta keandalan pusat jejaring komputer (server) mengatur alur komunikasi. Saat itu kecepatan akses data multimedia menggunakan modem sudah mengalami kemajuan dari 14,4 KBps menjadi 36,6 KBps dan terus melaju hingga 56,6 KBps.
Memasuki tahap sepuluh tahun kedua perkembangan jurnalisme ber-Internet diikuti dengan kecenderungan harga PC dan fasilitas yang disediakan ISP semakin beragam menjadi murah harganya. Tiba-tiba saja, setiap masyarakat dunia mengenal serangkaian istilah yang dimulai dengan huruf “e” dengan makna “electronic”. Ada istilah “e-commerce” (perdagangan ber-Internet), “e-trust” (pasar modal ber-Internet), dan media massa ramai-ramai menyajikan “e-news” alias berita melalui Internet, bahkan “e-government” yang berupaya mengalihkan sistem administrasi rutin kepemerintahan juga dilayani melalui Internet.
Surat kabar dan majalah, siaran radio dan televisi, serta tayangan film maupun berbagai pusat data dapat dengan mudah diakses melalui Internet. Pada masa ini pula “e-commerce” dibidang multimedia massa melalui “portal” (situs informasi) mengalami masa pasang, sekalipun pada akhirnya banyak pula yang berguguran.
Jatuh bangunnya “e-commerce” melalui produk dagang yang biasa disebut dotcom dapat terjadi lantaran pengelola bisnis sering kali lupa bahwa hubungan kemanusiaan dalam dunia dagang jauh lebih penting dibanding hanya menempatkan calon pembeli dan pelanggan setia layaknya angka statistik semata. Selain itu, para pengelola situs Internet seringkali terlalu bersemangat membuka “portal” –istilah ini muncul dari kata porta yang dalam bahasa latin yang semakna dengan pintu– yang dapat terbuka lebar dan penuh tawaran informasi, serta memiliki tatanan sangat menarik.
Hanya sayangnya, pengelola portal sering lupa memperbarui (up dating) informasi yang mereka sajikan, dan malas memberikan tanggapan terhadap e-mail yang masuk. Selain itu, mereka keliru menerjemahkan bahwa portal hanyalah sekadar pintu, padahal makna “e-commerce” menempatkan calon pembeli dan pelanggan setia merasa dihargai manakala e-mail-nya mendapat tanggapan positif.
Apalagi, banyak pengelola dotcom dalam periode 1998-2003 terbuai dengan betapa cepatnya memperoleh uang dari hasil menjual informasi dan mengelola iklan melalui laman (situs Internet). Bahkan, mereka tergiur untuk mendaftarkan bisnis dotcom-nya ke pasar modal untuk meraup keuntungan lebih besar dari investasi publik. Akhirnya, banyak di antara mereka berguguran alias mengalami kebangkutan.
Mereka agaknya tergoda untuk memenuhi “keinginan” berekspansi bisnis dan lupa memilah “kebutuhan” mendasar untuk mendukung eksistensi bisnisnya. Oleh karena itu, pebisnis dotcom yang mampu bertahan biasanya bukan semata-mata didasari kemampuannya berekspansi merebut pasar dan meraup untung secara cepat, tetapi mereka mampu berbenah memperkuat sistem, antara lain mengembangkan fungsi divisi produk sekaligus layanan teknologinya. Dotcom yang mampu bertahan hidup dan kemudian meraih peluang lebih besar biasanya memiliki bidang usaha jasa layanan dan pengembangan teknologi informasi.
Gelombang Ketiga jurnalisme ber-Internet mulai bereaksi semakin cepat pada tahun 2002 yang ditandai dengan maraknya teknologi bersimbolkan huruf “m” yang bermakna “mobile Internet”. Sistem akses Internet menjadi nirkabel dan aplikasi komputer dapat menyatu di telepon selular genggam (ponsel alias HandPhone/HP). Teknologi aplikasi nirkabel (Wireless Application Protocol/WAP) dan paket layanan radio (General Packet Radio Service/GPRS) sangat memungkinkan pengguna ponsel dapat pula mengakses Internet untuk mengirim dan menerima e-mail, pesan berfoto, bersuara dan gambar bergerak. Selain itu, peselancar di dunia maya dapat mengakses data dengan kecepatan mencapai 4 Mega Bytes per second (MBps) dengan memanfaatkan jaringan televisi kabel.
Belajar dari keruntuhan bisnis dotcom, maka industri media massa mengisi gelombang ketiga mengarah ke perdagangan bergerak secara nirkabel atau “m-business” (mobile business). Media massa saling berlomba menyajikan informasi terkini memanfaatkan ponsel ataupun PC dan notebook computer (laptop) yang dilengkapi teknologi gelombang akses lokal (Wave Lokal Area Network/W-LAN) atau sering disebut pula ”Wireless Fidelity (WiFi). Dalam babak itulah bisnis penyebaran informasi mulai dihitung dengan satuan waktu akses berbanding lurus dengan kapasitas data yang diambil berdasarkan satuan kilobytes (kb).
Dalam hal ini, media massa yang menerapkan –apalagi mengandalkan– konsep cyberjournalism harus menyadari bahwa dirinya tak dapat bermain sendirian. Keberadaanya berkaitan langsung dengan dukungan ISP dan juga berhadapan dengan budaya publik. Misalnya, media massa tidak dapat hanya mengandalkan kemampuan menyajikan informasi terkini hanya dari wartawannya sendiri, sehingga mereka tetap memerlukan kantor berita atau pun membuat jejaring pemberitaan sendiri yang tentunya memerlukan modal tidak sedikit. Media massa pun harus mampu membidik pasar yang sempit, namun konsumennya memiliki gaya hidup bekerja di mana pun –terutama tempat santai di luar kantor, namun menjalankan fungsi kantor berinternet nirkabel di kafe– yang rela mengucurkan dana besar untuk memperoleh informasi terkini, terakurat dan terlengkap.
Melajunya gelombang ketiga jurnalisme ber-Internet ditandai pula dengan kecenderungan konvergensi (convergence) media massa menjadi multimedia massa. Tiba-tiba saja proses kerjasama, bahkan penggabungan bisnis (merger) di antara penyedia jasa informasi dengan ISP dan perusahaan piranti keras sekaligus piranti lunak komputer saling menyatu. Gejala tersebut ditandai dengan bergabungnya perusahaan komputer Hewlett-Packard dengan Compaq, dan perusahaan ponsel bermerek dagang Ericsson bergabung dengan divisi multimedia audio visual Sony, menjadikan merk dagang Sony Ericsson, serta bergabungnya IBM Amerika Serikat dengan Lenovo China, melahirkan merk Thinkpad &Thinkcenter Lenovo, di dunia produk teknologi informasi. Piranti lunak ponsel cerdas (smartphone) pun memanfaatkan piranti lunak dari Symbian maupun Microsoft dengan pola konvergensi.
Konvergensi juga membawa produk teknologi informasi menjadi ”serba bisa” dan ”serba bergerak nirkabel”. Merebaknya Personal Digital Asisstant (PDA) yang berfungsi sekaligus sebagai telepon seluler (PDA phone) atau dilengkapi pula fungsi penjejak posisi bersatelit (Global Positioning System/GPS) membuat kalangan profesional, termasuk wartawan, semakin dimanjakan dalam berkomunikasi dalam menuntaskan pekerjaannya.
Gelombang Keempat jurnalisme ber-Internet, sekalipun ada yang menganggap masih masa transisi sehingga sejumlah pakar menyebutnya sebagai Gelombang Ketiga Setengah, terasa lajunya pada 2006. Saat ini, lagi-lagi, dunia kewartawanan semakin diarahkan untuk memanfaatkan Internet lantaran hasil temuan teknologi informasi yang maju pesat, antara lain ditandai dengan berkembangnya cakupan sebaran wilayah WiFi menjadi WiMax yang lebih luas, dan sejumlah aplikasi kerja sampai dengan database dapat tersimpan secara online sekaligus offline.
Manakala pemakai PC dan peselancar Internet lebih dari satu dasawarsa terbiasa mengerjakan sejumlah pekerjaan kantoran –menulis artikel, menyiapkan paparan (presentasi), menyusun album foto maupun audio-video– secara offline di PC-nya memanfaatkan aplikasi pengolah tertentu, maka mereka semua mulai dapat mengerjakan sekaligus menyimpan dokumennya di ”lemari maya” secara online.
Hebatnya lagi, pengguna komputer dan peselancar Internet yang selama ini harus menginstal aplikasi pengolah kata, penyusun grafik dan perancang paparan di PC/laptop-nya kini dimungkinkan mendapatkan langsung aplikasi itu melalui Internet. Dengan kata lain, mereka tidak perlu mengintal aplikasi khusus lagi –yang harga lisensinya terbilang mahal–lantaran dapat langsung mengambilnya di situs tertentu, dan memanfaatkannya secara offline, kemudian menyimpan dokumen itu ke ”lemari maya” saat koneksi online diaktifkan (online) kembali. Walau masih dalam taraf pengembangan, aplikasi semacam itu –semisal AjaxWrite di http://www.ajaxwrite.com — hingga pertengahan 2006 dapat berfungsi relatif memadai. Dalam hal ini, wartawan semakin dimanjakan untuk menjalankan profesinya, dan membuka peluang semua orang –tentunya dengan etika tertentu– dimungkinkan menjadi wartawan online secara kelembagaan maupun pribadi/mandiri.
Media massa yang ingin menerapkan konsep cyberjournalism –mengandalkan kinerja wartawan/editornya dapat mencari-menyunting-mendistribusikan berita teks/foto/audio-video dari mana pun, tanpa harus di kantor, tetapi memiliki laman pendukung kinerja jurnalistiknya– langsung berhadapan dengan dua pilihan besar. Pertama, apakah satu lembaga media massa ingin diakses banyak orang? Kedua, apakah media massa ingin lebih banyak diakses oleh para pemegang kebijakan secara mendunia?
Saat inilah jurnalisme ber-Internet tampaknya semakin mempertegas khalayaknya menjadi: “Kami menyatu untuk selalu memenuhi apa yang kalian semua para pelanggan butuhkan.”